
Secara etimologi, hisab rukyat berasal dari dua kata, yaitu hisab dan rukyat. Hisab dalam bahasa arab berarti perhitungan atau hitungan, sedangkan arti rukyat –yang merupakan kata isim berbentuk masdar dari fi’il ra’a- yar’a yang berarti abshara– adalah melihat dengan mata kepala. Pendapat A. Ghazalie Masrorie menyebutkan bahwa setelah tradisi hisab mulai populer dalam kalangan Islam, mulailah berkembang pemikiran terhadap pemaknaan kata rukyat. Rukyat dapat diartikan dzanna atau hasaba, yaitu melihat dengan hati (rukyat bil qalbi), dan dapat diartikan ’alama atau adraka, yaitu rukyat bil ‘ilmi, rukyat dengan alat.
Menurut Zubair Umar al-Jailany, hisab rukyat merupakan nama lain dari ilmu hisab, yang secara definitif merupakan ilmu perhitungan posisi benda-benda langit. Disebut pula ilmu miiqaat, karena mempelajari batas-batas waktu. Dan juga disebut ilmu rasd, karena ilmu ini memerlukan pengamatan, atau dengan kata lain, ialah sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit, seperti matahari, bumi, bulan, bintang serta benda langit lainnya. Hisab rukyat juga dapat disebut sebagai ilmu falak. Penamaan ilmu falak ini berkaitan dengan adanya objek dari penentuan ilmu tersebut adalah falak (madar al-nujum).
Namun bagi umat Islam Indonesia terutama kalangan pendidikan Islam klasik (madrasah dan pondok pesantren), istilah yang populer dan masyhur adalah persoalan hisab atau persoalan falak.
Adapun pokok bahasan hisab rukyat, sebagaimana lazim disebutkan dalam Mabadi Al-‘Asyrah pada setiap kitab falak adalah pembahasan penentuan waktu-waktu ibadah yakni ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan menentukan arah kiblat serta gerhana baik matahari maupun bulan
Sumber : http://bimasislam.kemenag.go.id